INDIK.ID, KOTA BEKASI - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bekasi Raya, Ade Muksin, menyoroti penerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polres Metro Bekasi Kota, atas kasus perbuatan cabul atau perbuatan kesusilaan di muka umum yang dilakukan oleh seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Afrika Selatan berinisial RJS terhadap mahasiswi Indonesia, juga seorang wanita aktivis yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia (GMNI) Bekasi, pada Minggu (25/2/2024) lalu, sekitar pukul 02.30 WIB, di Cafe Koma Junkyard, Kota Bekasi.
Kasus tersebut kata Ade merupakan pelanggaran terhadap Pasal 289 KUHP dan/atau Pasal 281 KUHP, dan telah dilaporkan oleh korban dan memicu perhatian publik.
Terkait kasus ini, pada 26 Februari 2024, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Kota Bekasi.
Namun, pada 31 Januari 2025, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) mengumumkan penghentian penyidikan kasus tersebut dengan alasan "tidak cukup bukti".
Ade Muksin menilai penghentian penyidikan ini sebagai keputusan yang sangat kontroversial, terutama mengingat SPDP telah disampaikan ke kejaksaan lebih dari setahun yang lalu. Menurutnya, keputusan ini menciptakan kesan bahwa proses hukum tidak berjalan transparan dan adil, serta merugikan korban yang telah berusaha mencari keadilan.
"Penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti sangat disayangkan, karena status pelaku sudah tersangka atas penetapan pihak Penyidik Polres Metro Bekasi Kota, terlebih lagi jika mempertimbangkan bukti-bukti yang ada pada saat laporan pertama kali dibuat. Kasus ini melibatkan seorang WNA, dan publik tentu berharap ada penegakan hukum yang jelas dan transparan. Penghentian tanpa penjelasan yang memadai bisa menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum," ujar Ade Muksin dalam keterangan pers yang disampaikan kepada media.
Ade Muksin juga menekankan perlunya keterbukaan informasi oleh Polres Metro Bekasi Kota dan Kejaksaan Kota Bekasi terkait alasan sebenarnya di balik penghentian penyidikan. Ia menilai bahwa penghentian perkara seperti ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat, khususnya korban yang mungkin merasa hak-haknya tidak terpenuhi.
"Kami mendesak agar pihak berwenang memberikan penjelasan lebih rinci terkait keputusan ini. Jika memang tidak ada cukup bukti, harus dijelaskan dengan gamblang bukti apa yang kurang dan bagaimana evaluasi terhadap bukti-bukti yang ada. Masyarakat berhak tahu," tegas Ade Muksin.
Sebagai organisasi yang memiliki peran penting dalam mendukung kebebasan pers dan memperjuangkan keadilan, PWI Bekasi Raya berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini. PWI akan mendorong agar proses hukum tetap berjalan dengan mengedepankan prinsip keadilan, tidak terkecuali dalam kasus ini yang menyangkut korban perempuan berinisial NP dan pelaku RJS WNA asal Afrika Selatan dengan status sebagai guru di Bekasi.
"Kasus ini harus tetap diperhatikan dan kami berharap ada tindak lanjut yang lebih transparan. Kami akan terus memantau dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan untuk menegakkan keadilan bagi korban," ujar Ade Muksin.
Sebagai bagian dari dunia jurnalistik, PWI Bekasi Raya juga mengingatkan media untuk terus bersikap kritis dan independen dalam mengawal isu-isu yang berkaitan dengan hukum, terutama yang melibatkan kekerasan seksual dan pelanggaran kesusilaan di ruang publik.
PWI menilai bahwa media memiliki peran besar dalam memberikan informasi yang tepat kepada publik dan menjaga agar keadilan dapat ditegakkan dengan baik.
"Kasus ini menyisakan tanda tanya besar di kalangan masyarakat Kota Bekasi, dan banyak yang berharap agar proses hukum dapat terus berjalan dengan adil. PWI Bekasi Raya berkomitmen untuk terus menjaga transparansi dalam kasus ini dan mengedepankan kepentingan keadilan bagi korban," pungkasnya.
(NRY)