• Jelajahi

    Copyright © indik.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

     


    Kebijakan Pidana Sebagai Political Will Pemerintah Untuk Mencegah Kejahatan Berdaulat

    www.indik.id
    10/02/2025, 19:42 WIB Last Updated 2025-10-02T12:42:10Z

                  

    INDIK.ID, JAKARTA - Kejahatan atau tindak pidana (strafbaar feit, misdrijf, overtreding) merupakan perbuatan yang  melanggar ketentuan hukum pidana dan dapat dihukum dengan sanksi pidana. 


    Dalam perbuatan tersebut harus terdapat unsur melanggar hukum (wederrechtelijk) yang dapat berupa: 1) Perbuatan yang melanggar hukum, 2) Perbuatan yang tidak sah atau tidak memilili izin, dan 3) Perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat. 


    Suatu tindak pidana tidak hanya sekedar menimbulkan masalah kemanusiaan, tetapi juga dinyatakan sebagai the oldest social problem (masalah sosial yang telah ada sejak lama dan terus – menerus berlanjut sampai saat ini) seperti; kemiskinan, perbudakan, ketidaksetaraan, perlakuan diskriminatif dan sebagainya.


    Oleh karena dampak negatif dan daya rusak yang ditimbulkan akibat adanya kejahatan atau tindak pidana maka perlu dilakukan upaya – upaya penanggulangan kejahatan dalam suatu kerangka kebijakan pidana (criminal policy) sebagai politik hukum negara  Indonesia untuk mengantisipasi, mencegah dan menanggulangi berbagai model dan modus tindak pidana. Kebijakan pidana sebagai bentuk  political will pemerintah merupakan public policy yang bersifat integral yang tidak terpisahkan dari tujuan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” dalam rangka melakukan penegakan hukum (law enforcement) yang mengutamakan perlindungan masyarakat (social defence, protection of society). 


    Kebijakan Pidana harus diformulasikan secara sungguh – sungguh dalam politik hukum pemerintah (yang dapat dilihat dari pembentukan berbagai regulasi seperti KUHP dan KUHAP serta peraturan perundang – undangan lainnya, termasuk juga  perilaku pemerintah atau birokrasi dalam menjalankan tata kelola pemerintahan) untuk paling tidak dapat mengurangi frekuensi kejahatan atau tindak pidana yang merusak sendi – sendi moral bangsa dan menimbulkan kerusakan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 


    Dalam konteks kebijakan pidana sebagai political will pemerintah maka dapat digunakan sebagai rujukan pendapat ROESLAN SALEH dalam bukunya yang berjudul “Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana”, yang menyatakan  bahwa pada hakekatnya ada 2  (dua)  poros yang menentukan garis – garis hukum pidana, yaitu:


    Segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan;


    Segi pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dari dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum;


    Kebijakan pidana juga sangat penting dan mendesak disikapi pemerintah untuk mencegah terjadinya suatu keadaan membahayakan karena timbulnya fenomena “kejahatan berdaulat”. Dalam  The Lexicon Webster Dictionary, Volume II (1977), diartikan  antara lain:


    Free of outside influence or control (bebas dari pengaruh atau kendali);


    Producing or capable of producing the greatest effect (Menghasilkan pengaruh atau menimbulkan dampak yang besar);


    Kejahatan berdaulat berorientasi pada situasi budaya yang memungkinkan kejahatan menjadi salah satu faktor determinan, yaitu kondisi yang disebut budaya dalam transisi  (culture in transition). Istilah “culture in transition” telah digunakan oleh Mark Findlay untuk menjelaskan relasi kejahatan dengan globalisasi. 


    Sedangkan Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, menjadikan “budaya Transisi” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan kejahatan berdaulat untuk menjelaskan perangkap penyimpangan dan kejahatan di masyarakat. Perbedaan antara  Tb. Ronny Rahman Nitibaskara dengan Mark Findlay  adalah pada sebab – sebab timbulnya budaya dalam transisi. Terhadap masalah ini, Mark Findlay sama sekali tidak menyinggung adanya tekanan penyimpangan dan kejahatan (pressure of deviant and crime), sementara itu bagi Tb. Ronny Rahman Nitibaskara hal itu menjadi sorotan yang utama. Hal ini kebalikan dengan umumnya pendekatan social – budaya yang berasumsi bahwa munculnya kejahatan akibat adanya tekanan sosial (social pressure). Meskipun terdapat  perbedaan pendekatan kajian kedua postulat tersebut, akan tetapi esensi makna denotatif (makna mendasar)   kedua postulat tersebut adalah sama. Merujuk pada kedua postulat tersebut, dalam masa transisi negara Indonesia sekarang ini (yang diklaim banyak pihak sebagai masa kegelapan) maka pemerintah Indonesia tidak boleh lagi bermain – main atau mempermainkan karakter bipolar   dalam proses penegakan hukum. 


    Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan hukum sebagai sarana justifikasi kriminalisasi pihak – pihak tertentu atau untuk melegalisasi proyek – proyek yang sarat dengan “hidden ambition” atau “hidden interest” yang tidak dapat disentuh oleh hukum pidana meskipun melanggar ketentuan hukum pidana. Kebijakan pidana mesti merujuk pada asas legalitas dan mengutamakan perlindungan masyarakat (social defence, protection of society).  

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini