INDIK.id JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2024 yang menghapus utang sebesar Rp 10 triliun untuk sekitar satu juta petani, nelayan, dan pelaku UMKM di sektor kuliner, fashion, serta industri kreatif. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis untuk mendukung ekonomi rakyat, namun sejumlah pihak mengingatkan risiko penyalahgunaan dalam pelaksanaannya jika tidak diawasi dengan ketat.
Dr. Ali Mahsun ATMO, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), menegaskan bahwa pemerintah dan bank-bank Himpunan Bank Negara (Himbara) tidak boleh bekerja sendirian dalam mengimplementasikan kebijakan ini.
"Harus ada transparansi, dan mereka wajib melibatkan organisasi yang menaungi petani, nelayan, serta pelaku UMKM. Langkah ini harus dilakukan agar tidak terjadi kongkalikong yang bisa merugikan rakyat,” ujarnya, Sabtu (9/11/2024).
Kebijakan penghapusan utang ini, menurut Ali, memang membawa harapan baru bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah yang tengah menghadapi penurunan daya beli dan beban hidup yang semakin berat. Namun, ia mengingatkan bahwa dampaknya hanya akan dirasakan secara luas jika pelaksanaannya tepat sasaran dan efektif.
Ali juga mengungkapkan tantangan besar dalam mengatasi kredit macet yang menjerat banyak UMKM di Indonesia. Data menunjukkan per Agustus 2024, nilai kredit macet di sektor UMKM mencapai Rp 59 triliun dengan tingkat kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) sebesar 4,04%. Ia mengkritik kebijakan perbankan yang sering kali justru membebani nasabah kecil.
"Sering kali kredit macet pada skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) ditangani dengan cara mengganti skema kredit yang bunganya lebih mahal. Kondisi ini tidak membantu, bahkan semakin memperburuk situasi," tegasnya.
Menurut Ali, PP No. 47/2024 adalah instrumen penting untuk mencapai target minimal 40% kredit bagi UMKM dari total kredit nasional yang kini baru mencapai 19,39%. Ia menyatakan bahwa target tersebut penting sebagai syarat keberhasilan Indonesia menyambut bonus demografi pada 2030. Saat ini, rasio wirausaha di Indonesia baru sekitar 3,49%, jauh dari target yang dibutuhkan untuk mendorong ekonomi nasional.
"Jika kita ingin sukses di 2030, Indonesia butuh mencetak 100 juta UMKM unggul dengan rasio wirausaha yang mapan mencapai 10-12%," ujarnya.
Selain itu, Ali meminta adanya pendampingan yang berkelanjutan bagi UMKM penerima kredit agar mereka dapat memanfaatkan bantuan secara optimal. Ia menyoroti kurangnya pendampingan dalam skema kredit sebelumnya, yang berdampak pada rendahnya keberhasilan UMKM dalam mengembangkan usahanya.
Mengingat tingginya risiko penyalahgunaan anggaran dan potensi kongkalikong dalam pelaksanaan kebijakan ini, Ali menekankan pentingnya pengawasan ketat oleh pihak independen.
"Pengawasan harus melibatkan organisasi yang menaungi petani, nelayan, dan UMKM, serta masyarakat luas. Kalau sampai terbukti ada penyalahgunaan, pelaku harus diadili dan dijatuhi hukuman yang tegas," tegas dokter ahli kekebalan tubuh ini yang juga Presiden Kawulo Alit Indonesia.
Pemerintah, menurutnya, perlu bekerja sama dengan pihak-pihak di luar bank Himbara, yang sering dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kredit macet. Transparansi harus diutamakan agar bantuan dapat benar-benar sampai ke tangan yang berhak, tanpa diwarnai praktik manipulasi atau kepentingan yang merugikan.
Melalui langkah pengawasan yang ketat dan kolaborasi lintas lembaga, Ali berharap PP No. 47/2024 dapat menjadi instrumen yang efektif dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Kebijakan ini, jika dijalankan dengan baik, bukan hanya sekadar menghapus utang, tetapi juga mampu memperkuat sektor ekonomi rakyat yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
"Jika ada yang mencoba menyalahgunakan PP No. 47/2024, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Kesempatan untuk mendukung UMKM ini terlalu berharga untuk disia-siakan atau dikorupsi," pungkasnya.
(Dodi/Aka red)